Senin, September 29, 2008

07 Perjalanan Rakeyan

07 Perjalanan Rakeyan

***************************************************************************************************************************













BAGIAN PERTAMA : KE BUMI KAWASTU

PENDAHULUAN

MULA PERJALANAN

BAGIAN KEDUA : SEMBILAN PENDERITAAN

BAGIAN KETIGA : GODAAN KEBOHONGAN

BAGIAN KEEMPAT : KUNJUNGAN KE NEGARA SUCI

BAGIAN KELIMA : TAMAN PRIBADI

BAGIAN KEENAM : JAWABAN ATAS PENGALAMAN

BAGIAN KETUJUH : PENUTUP



===========================================================================================

BAGIAN PERTAMA : KE BUMI KAWASTU

PENDAHULUAN

Pada hari terakhir dari acara doa-puasanya seseorang memberi tahu Rakeyan tentang wujud naga bermahkota yang harus dihadapinya malam nanti. Rakeyan pun bersiap diri, meminta dukungan doa dari ibunda dan adindanya. Pada pukul sepuluh empat puluh malam ia telah tiba di Bumi Kawastu. Sedikit merasa ragu ia, tetapi diingatnya pesan yang telah diterimanya:

'Bumi Kawastu, datanglah kesana. Tetaplah ingat dan sadar. Janganlah takut kepada kekuatan bumi ……' Segera ia mulai bersembahyang dan beribadah. Ketika itu waktu sudah menujukkan pukul sebelas malam. Banyak juga yang ikut mengantarkan dia dalam doa menurut 'cara' mereka sendiri. Di antaranya ayunda dan suaminya, juga paman mereka, dan ditambah empat orang kawan-kawan lainnya yang ikut mengantarkan Rakeyan ke tempat terjadinya peristiwa ini. Walaupun demikian tetaplah kenyataan bahwa apa yang akan ia alami itu haruslah ia hadapi seorang diri.



MULA PERJALANAN

Rakeyan melihat dengan jelas, merasa dengan pasti, berpikir dengan terang, bergerak terkendali, dan sepenuhnya dalam keadaan sadar. Ia berada di tepi sebuah pantai. Jelas terdengar suara deburan ombak dan membadainya angin. Rakeyan mengagumi kemuliaan ciptaan Tuhannya.

Seekor naga berwarna hijau datang mengitari tubuhnya, kepalanya yang besar itu bergerak ke belakang kepala Rakeyan, lalu ke sebelah kirinya. Bagian kiri kepalanya menegang mengeras, dan telinganya menjadi seperti tuli. Ular naga bermahkota itu memandang kepada Rakeyan, dan mengundangnya masuk ke air. Rakeyan merasa ragu. Tiba-tiba saja Rakeyan sudah mulai berkelahi dengan naga itu. Mereka bergulat di tepi pantai, di antara terpaan ombak yang datang dari pantai. Kadangkala Rakeyan di atas, kadangkala di bawahnya. Amat seru jalannya pertandingan itu, sulit untuk mereka saling mengalahkan.

Akhirnya Rakeyan menunggangi naga itu, berpegangan erat pada rahangnya, dan iapun dibawa memasuki dalamnya samudera. Ia melintasi lapisan demi lapisan air laut, dan semakin dalam ia pergi semakin kelamlah nampaknya segala sesuatu yang terlihat.

Akhirnya mereka tiba di mulut gua di dasar laut, dan pada waktu itulah naga bermahkota tadi hilang entah kemana. Kemana ia pergi Rakeyan sama sekali tidak mengetahuinya. Rakeyan pun tidak berusaha untuk mencarinya. Rakeyan melihat ke dalam lubang gua itu, nampak olehnya bagaimana gelap, sunyi, dalam, hampa, dan menakutkannya tempat itu. Rakeyan merasa takut dan ngeri, tetapi ia tahu bahwa ia harus masuk ke dalamnya. Terus disebutnya nama Tuhan di dalam hatinya, dimantapkannya keyakinan dirinya dan dimasukinya gua yang gelap itu. Demikianlah Rakeyan mengisahkan perjalanannya dan segala sesuatu yang disaksikannya.

[Back]



BAGIAN KEDUA : SEMBILAN PENDERITAAN

Lembaran - lembaran Kesedihan dan Kejatuhan Manusia

Pemandangan Pertama : Peperangan

Setelah melewati dinding gua yang kosong, Rakeyan melihat seorang wanita tua duduk di atas kursi. Ia berada di sebelah kiri, dan duduk membelakangi Rakeyan. Lalu Rakeyan memanggilnya, dan betapa terkejut Rakeyan ketika ia berbalik ke arah Rakeyan. Wajahnya hitam kusam seperti terbakar, dipenuhi kerut-kerut ketuaan yang meklukiskan penderitaan yang mata sangat. Ia tidak dapat berbicara, apalagi memohon. Hanya wajahnyalah yang berada di situ untuk menunjukkan apa arti penderitaan manusia.

Rakeyan meneruskan perjalanannya, hingga tiba di sebuah tempat yang agak lebih luas. Dilihatnya banyak mayat dan tubuh dalam keadaan sekarat bergelimpangan di mana-mana. Semuanya dalam keadaan penuh darah, dan bahkan beberapa di antaranya terlihat dengan luka-luka bekas terbakar. Api membakar memusnahkan segala sesuatu dan manusia saling berperang serta membunuh. Walaupun mulanya perang itu pecah di antara dua pasukan tentara yang berhadapan, akhirnya keadaan menjadi sangat kacau. Semua berusaha saling membunuh tanpa memperhitungkan siapa kawan dan siapa lawan lagi. Pada saat itu perang telah kehilangan tujuannya, dan membunuh sudah menjadi cita-cita yang utama. Di antara reruntuhan kemusnahan, manusia sedang berusaha menghancurkan kehidupan. Rakeyan melanjutkan perjalanannya, meninggalkan pemandangan yang mengerikan itu …



Pemandangan Kedua : Pesta Kebodohan

Pesta sedang berlangsung ramai, para tamu berdatangan, minuman disuguhkan dan makananpun disajikan. Suara riuh berdenting terdengar di mana-mana, semakin menambah kemelut dan kacaunya suasana. Wanita-wanita penyambut, yang tidak berbusana, memandangi mereka yang sedang rakus bersantap, dan mengantarkan yang baru datang ke mejanya masing-masing.

Demikianlah pesta itu berlangsung terus-menerus, tanpa ada tanda-tanda akan berhenti sama sekali. Karangan bunga terlihat di mana-mana, dan juga bermacam-macam hiasan yang indah-indah. Tetapi mengapa tidak seorangpun terlihat bahagia, atau tampak senang menikmati apa yang telah disajikan bagi mereka. Para tamu yang datang terlihat gagah karena pakaian dan perhiasan mereka yang indah-indah dan mahal-mahal. Tetapi mereka semua terlihat tua dan seperti dirundung kesedihan. Kerutan-kerutan di wajah mereka menunjukkan ketidak-sejahteraan, dan itu semua tidak dapat dihilangkan oleh bedak dan kosmetik di wajah mereka. Terlihat lagi tamu-tamu berdatangan, dalam rombongan berbaris masuk, dituntun dan dihantarkan oleh wanita-wanita penyambut yang tak berbusana. Tetapi alangkah mengerikannya … alangkah sangat mengerikannya. Mereka semua lumpuh dan datang di atas kursi-kursi roda. Mulanya Rakeyan ingin tinggal di tempat itu, bahkan ingin bersetubuh dengan seorang wanita cantik di cekung berukir di dinding sana, yang sejak Rakeyan tadi datang telah memanggil-manggil Rakeyan agar mendekat kepadanya. “Tapi tidak” kata Rakeyan dalam hatinya … “aku tidak boleh tinggal lama di tempat ini.” Ini bukanlah tempat kebahagiaan, dan jauh pula dari tempat kesenangan. Di tempat ini orang bertambah umur menjadi semakin tua, tetapi mereka tidak menjadi lebih bijaksana. Rakeyan memasuki lorong gua pada arah yang berlawanan dari tempat ia tadi tiba, dan melanjutkan perjalanannya.



Pemandangan Ketiga : Kekejaman Manusia

Rakeyan tiba di bangsal kekejaman manusia dan apa yang ia saksikan tidak akan pernah akan ia lupakan. Di tempat ini manusia senang menyakiti sesamanya, dan kelihatannya mereka juga seakan-akan senang untuk saling menyakiti.

Dua orang pria duduk saling berhadapan, masing-masing memegang batang besi tajam di tangannya. Mereka saling menusuk, dan menghujam dalam lawannya dengan batang besi tajam itu, hingga darah merah membanjir di mana-mana. Mereka kesakitan dan seperti hampir mati, tetapi mengapa mereka tidak mau berhenti.

Lalu Rakeyan melihat dua orang diikat pada lehernya, tergantung pada dua ujung kayu yang diletakkan di atas sebuah penopang. Kaki mereka tidak dapat menyentuh lantaui dan karena itu mereka tercekik hingga tidak dapat bernapas. Bila yang satu berusaha menjejak tanah dengan memberatkan tubuhnya, maka yang satu lagi akan berbuat yang sama, sebab bila tidak, ialah yang akan tergantung hingga sesak dadanya. Karena tidak seorangpun yang mengalah, maka keduanya akan tergantung disitu untuk selama-lamanya.

Beberapa wanita telanjang berdiri dengan kedua tangan terikat pada tembok di belakangnya. Banyak orang dan bahkan mereka sendiri menusuki kemaluan mereka dengan besi panas. Mereka menjerit-jerit kesakitan dan menangis memilukan, tubuh mereka berguncang-guncang menahan penderitaan yang mengerikan. Tetapi siapakah yang dapat menolong mereka. Penghukuman ini adalah karena kesalahan mereka sendiri. Rakeyan merasa tahu akan hal itu karena dilihatnya tubuh bayi-bayi kecil berserakan di tanah, yaitu bayi-bayi yang telah mereka tolak dan sia-siakan. Semuanya dalam keadaan hancur berdarah. Rakeyan bergerak memasuki lorong gelap dan melanjutkan perjalanannya.



Pemandangan Keempat : Penderitaan Kanak-kanak

Rakeyan memasuki bangsal penderitaan kanak-kanak dan apa yang dilihatnya membuatku menangis. Di tempat ini, ratusan bahkan ribuan anak-anak kecil menderita segala sesuatu yang seharusnya tidak mereka alami.

Mereka berdiri menangis meminta makan, karena sudah cukup lama mereka berada dalam keadaan lapar. Mereka kelihatan seperti binatang karena keadaan mereka. Kepala mereka terlihat besar mengerikan, tubuh mereka sangat kurus hingga tulang-tulang rusuk mereka seperti akan tembus memecah lapisan kulit yang amat tipis. Debu kotor dan bekas-bekas luka bernanah mememhuhi tubuh mereka, semuanya susah untuk disembuhkan. Perut mereka menggembung karena busung lapar. Sudah sangat lama mereka menderita, sehingga tangisan mereka kini tanpa air mata lagi. Di tengah kesedihan mereka Rakeyan bertanya: “Ya Tuhan, mengapa?”

Kemudian Rakeyan melihat anak-anak yang terpenjara di kandang-kandang. Setiap kandang penuh sesak sehingga mereka tidak dapat bergerak atau melakukan apapun. Semua ingin bebas seperti burung-burung di udara. Pada umur mereka yang masih sangat muda dan halus itu, sebenarnya mereka berhak untuk menerima kasih yang berlimpah. Sesungguhnya mereka tidaklah dilahirkan hanya untuk menderita. Rakeyan bertanya lagi: “Ya Tuhan, mengapa?”

Selanjutnya Rakeyan melihat anak-anak yang bekerja seperti budak, mengerjakan jenis pekerjaan orang dewasa untuk kepentingan dan keuntungan orang lain. Mereka bekerja tanpa henti, dalam ketakutan dan kemelut jiwa. Seharusnya mereka berada di taman berumput hijau segar, di mana kupu-kupu indah berterbangan dan di mana mereka dapat tertawa riang dengan senang. Tetapi sebaliknya, di sinilah mereka berada dan disalah-gunakan orang lain. Bilamana mereka bekerja terlalu lamban pengawas atau mandor akan mencambuki mereka. Bahkan dengan semakin keras apabila mereka menangis. Belum lagi bentakan-bentakan yang keras dan tajam, yang ditumpahkan merobek gendang-telinga dan jaringan hati anak-anak yang halus itu.

Perlahan-lahan Rakeyan membungkukkan tubuhnya hingga kening kepalanya menyentuh lantai dan dalam sujudnya ia bertanya untuk ketiga kalinya: “Ya Tuhan, mengapa?” Rakeyan bergerak memasuki lorong gelap dan melanjutkan perjalanannya.



Pemandangan Kelima : Penyakit Manusia

Rakeyan memasuki bangsal penyakit manusia, dan apa yang dilihatnya membuat tubuhnya bergetar. Di situ, di sebuah pulau, berdiri sebuah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang menderita sakit. Ada yang sakit kusta, ada yang batuk berdarah, dan berbagai penyakit-penyakit parah lainnya. Sebagian orang yang sakit hanya terbaring saja di tanah tanpa dapat bergerak lagi, tanpa didampingi oleh seorang penolongpun. Pada jalan-jalan kecil di pulau itu banyak orang sakit berkeliaran, mencari pertolongan. Mereka menangis, mereka merintih, mereka mengerang. Penyakit mereka membinasakan tubuh mereka secara perlahan-lahan. Rakeyan bertanya kepada Penciptanya: “Ya Tuhan, mengapa semua ini harus terjadi?” Kemudian Rakeyan bergerak memasuki lorong gelap dan melanjutkan perjalanannya.



Pemandangan Keenam : Orang Cacad

Rakeyan memasuki bangsal orang cacad, dan apa yang dilihatnya membuatnya merasa takut. Tempat ini penuh dengan orang-orang yang tidak sempurna keadaan tubuhnya. Sebagian tidak memiliki tangan dan lengan, hingga tidak dapat melakukan apapun, sebagian lagi tidak memiliki kaki sehingga harus melompat-lompat dari tempat ke tempat. Ada pula orang-orang yang buta, atau tuli, maupun bisu. Rakeyan bergerak memasuki lorong gelap, dan melanjutkan perjalanannya.



Pemandangan Ketujuh : Kejahatan Manusia

Rakeyan memasuki bangsal kejahatan manusia dan apa yang dilihatnya membangkitkan rasa marahnya. Di situ, dalam masyarakat kebinatangan manusia, semua terbagi antara yang kuat dan yang lemah. Bahasa kekuasaan dan penindasan dipergunakan dengan sempurna di sana. Seorang lelaki yang besar dan kejam memerintahkan mereka yang lemah untuk melayaninya, dan ia akan membentak-bentak dengan kasar apabila hatinya tidak merasa puas. Kemudian iapun akan menyakiti dan menghukum mereka. Di tempat yang terkutuk ini tidak seorangpun tersenyum dan apabila sesekali ada yang tersenyum, maka senyumnya adalah senyum kegetiran dan pahitnya hidup. Kaum wanita selalu berusaha menyembunyikan diri mereka, setiap saat manusia kejam itu lewat. Tidak seorangpun mau untuk menampilkan wajah mereka kepadanya. Rakeyan melihat ketika orang tersebut menghampiri seorang wanita, maka wanita itu akan berusaha menyembunyikan dirinya di balik pepohonan. Tetapi orang kejam itu menarik tangan wanita tersebut dengan kasar. Kemudian ketika ia melihat bahwa kecantikan wanita itu tidak seperti yang ia duga, maka ditendangnya wanita tersebut ke dalam sungai. Kemudian orang kejam itu melihat seorang wanita lain, ditariknya tangannya dan diseretnya ke suatu sudut. Direnggutnya pakaiannya dan digagahinya pribadi yang menolak itu secara paksa.

Rakeyan berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa bilamana ia bertemu orang ini dalam kehidupan, ia akan bertindak menentangnya. Rakeyan bergerak kembali memasuki lorong gelap dan melanjutkan perjalanannya.

Pemandangan Kedelapan : Belenggu dan Penjajahan Manusia

Rakeyan memasuki bagian luar bangsal belenggu dan penjajahan manusia, di sebelah kanannya dilihatnya lubang berterali besi. Melalui lubang jendela itu Rakeyan melihat ke suatu tempat jauh di bawah sana, di mana terdapat kumpulan orang-orang berambut kusut dan berpakaian kotor. Mereka semua dibelenggu dengan rantai. Sebagian pada tangannya, sebagian pada kaki dan tangannya, dan ada pula yang dirantai ke dinding batu. Dari waktu ke waktu para penjaga tahanan akan memasuki ruangan. Lalu memilih satu atau lebih dari tahanan yang ada untuk dipukuli dengan tongkat-tongkat kayu. Kadang-kala juga beberapa tahanan akan di bawa ke sebuah tempat khusus dan dipenggal kepalanya di sana. Setiap hari para tahanan yang terbelenggu itu akan digiring ke tempat kerja paksa. Di sana mereka bekerja dari pagi hingga sore tanpa mendapat cukup makanan. Suara para penjaga terdengar menggemuruhkan udara, mengarahkan jalannya kerja paksa. Rasa takut akan pukulan dan siksaan membuat orang-orang terbelenggu itu menurut.



Ketika itu Rakeyan sadar bahwa baik penjaga maupun tahanan di penjara tersebut telah sama-sama kehilangan rasa kemanusiaan mereka yang halus. Tempat dan hubungan di antara mereka telah membuat suara hati mereka tumpul. Rakeyan bergerak memasuki lorong gelap, dan melanjutkan perjalanannya.



Pemandangan Kesembilan : Perusakan Alam

Rakeyan memasuki bangsal perusakan alam dan apa yang dilihatnya menimbulkan rasa ngeri di hatinya. Hutan yang hijau indah sedang terbakar oleh jilatan-jilatan api yang dahsyat. Batang-batang pohon yang besar dan tadinya rindang, dilahap oleh lidah-lidah api raksasa yang menyebarkan kemusnahan di sana sini. Berapa saja margasatwa hutan yang binasa dalam neraka ini, kiranya jumlahnya itu tak akan terhitung lagi. Sungai-sungai menjadi kering. Tanah merah yang subur sekarang hitam hangus tak dapat ditanami lagi. Bumi mengalami kematian. Rakeyan bergerak memasuki lorong gelap dan melanjutkan perjalanannya.

[Back]



BAGIAN KETIGA : GODAAN KEBOHONGAN

Pemandangan Tunggal : Rumah Kebohongan

Bangsal berikutnya yang dimasuki Rakeyan ini berbeda dengan sembilan bangsal yang baru saja ia lalui. Tempat ini seakan-akan merupakan penjumlahan dan sekaligus ringkasan dari ke sembilan bangsal penderitaan yang telah dilalui, dalam suatu hubungan yang mengikuti hukum sebab-akibat atau karma. Maksudnya di sini adalah tempat untuk memperoleh sarana yang dapat digunakan untuk menimbulkan ke sembilan penderitaan yang telah disaksikan Rakeyan tadi. Maka di tempat ini pulalah seluruh pikiran, buah-buah pikiran dan perasaan yang telah dicerna Rakeyan selama melewati ke sembilan tempat penderitaan terdahulu semakin dipertajam. Di sinilah terdapat ujian dan batu sandungan yang amat berbahaya.



Wujud tempat ini adalah sebuah rumah dengan kamarnya yang banyak. Setiap kamar diberi pintu terbuat dari batu, yang dapat dibuka dari luar, tetapi tidak dapat di buka dari dalam. Jalan-jalan dan gang-gang di rumah ini selalu berada dalam kegelapan dan pada lantainya terdapat cairan jelaga hitam yang lengket. Karena itu amat sulit untuk berjalan di situ. Barang siapa yang tidak berhati-hati akan mudah terjerat di sini. Dari celah-celah pintu pada setiap kamar terlihat cahaya terang, yang seakan-akan dapat diartikan sebagai sinar keagungan. Barang siapa melangkah di jalan yang gelap dan sulit itu akan tergoda untuk memasuki salah satu kamar di rumah itu agar dapat menemukan terang. Rakeyan pun hampir terjebak di situ. Demikianlah yang terjadi. Ketika melangkah kaki Rakeyan terjerat oleh cairan jelaga yang hitam legam, sehingga ia harus berjuang keras untuk keluar dari dalamnya. Ketika akan melanjutkan perjalanan Rakeyan sempat menoleh ke arah kiri. Karena ada cahaya yang terlihat dari celah pintu. Dilangkahkannya kaki ke kamar yang terasa sangat mengundang itu, entah bagaimana ia menduga bahwa bila pintu tersebut dibuka maka ia akan memasuki suatu pengalaman baru. Lagipula pikirnya lebih baik berada di tempat yang terang di balik pintu daripada di gang rumah yang gelap gulita itu.



Rakeyan menaiki beberapa undakan tangga lalu mendorong pintu kamar yang mulanya terasa berat, tetapi akhirnya dapat kubuka dengan dorongan yang agak keras. Berbeda dengan apa yang ia harapkan, ternyata di balik pintu itu hanya ditemui sebuah ruangan yang sangat sempit dan kecil. Rasanya penuh sesak sekali karena di dalamnya banyak terdapat permata, batu-batu hias, ukiran-ukiran terbuat dari emas, pedang dan keris pusaka, dan banyak lagi bermacam-macam harta benda yang tampak bernilai tinggi. Karena mengira bahwa itu adalah hak dan warisannya, hampir saja Rakeyan mengambil sebuah barang sebagai kenang-kenangan.



Tiba-tiba dilihatnya seorang raja atau tokoh keprabuan duduk di atas tahta kencananya. Mulanya ia mengira sosok tersebut adalah gambaran dari salah-satu raja dan leluhurnya. Sewaktu akan memberi hormat tiba-tiba Rakeyan merasa bahwa dia tidak perlu menghormati sosok raja itu sama sekali. Lalu dilihatnya raja itu melepas mahkotanya dan menawarkannya kepada Rakeyan untuk ia pakai. Sempat terpikir oleh Rakeyan untuk mengambilnya, tetapi rasa keraguan tiba-tiba memenuhi hatinya. Segera di dalam hatinya Rakeyan berdoa terus-menerus, melagukan nama Tuhannya dengan sepenuh iman. Dengan tiba-tiba saja sosok raja itu tampak mengecil, dan terus semakin kecil, hingga akhirnya menjadi seorang bocah ingusan belaka. Sambil memegangi mahkotanya, ia tertawa-tawa senang. Wajahnya kelihatan bodoh. Secepatnya Rakeyan meninggalkan ruangan itu. Ia merasa beruntung bahwa tadi pintu ruangan tersebut ia pegangi dan tidak dibiarkan tertutup. Rakeyan bersyukur karena telah memperoleh satu pelajaran yang berharga.



Di tempat itu banyak orang yang telah datang hanya dengan cita-cita yang terbatas. Mereka menghubungkan kebahagiaan hanya dengan suatu keinginan yang bersifat pribadi, tanpa sama sekali mengira bahwa kebahagiaan seperti itu hanyalah suatu kebohongan atau kebodohan belaka. Ke dalam masing-masing kamar di rumah itu telah masuk orang-orang yang mengira bahwa pemuasan keinginan-keinginan mereka sendiri adalah hal yang terpenting. Karena itu mereka menjadi terpenjara dalam kamar-kamar yang sempit dan sesak. Kehilangan semangat dan maksud untuk mendalami hal-hal yang lebih tinggi dan luhur dalam kehidupan manusia. Maka orang-orang seperti mereka itulah yang dapat mengakibatkan terjadinya sembilan penderitaan yang tadi telah disaksikan Rakeyan.



Tanpa merasa tertarik lagi untuk melihat kamar-kamar lainnya, Rakeyan melangkah di jalan yang sulit dilalui tetapi lurus itu. Tiba-tiba dari sebelah kanan dilihatnya seorang wanita cantik tanpa busana sedikitpun melangkah mendekati dirinya. Senyumannya sangat manis dan mengundang. Rakeyan memberi isyarat bahwa ia tidak tertarik kepadanya. Wanita itu menjadi marah dan, merekahkan kedua pahanya. Dengan sedikit rasa gentar Rakeyan melihat paha yang tadinya ranum menjadi busuk di sisi dalamnya dan dipenuhi ulat-ulat pemakan bangkai.



Dengan tersenyum Rakeyan terus melangkah, kini dengan lebih mudah, karena kakinya tidak mudah lagi terjerat dalam cairan jelaga hitam di lantai. Ditinggalkannya rumah kebohongan itu dan sekali lagi ia berada dalam lorong gua. Dilihatnya cahaya terang di ujung lorong, maka Rakeyan pun melangkah dengan cepat dan terus semakin cepat, hingga dalam sekejap saja ia telah berada di luar lorong. Kakinya tidak menjejak bumi, karena didapatinya dirinya sedang terbang melayang.

[Back]



BAGIAN KEEMPAT : KUNJUNGAN KE NEGARA SUCI

Pemandangan Tunggal : Dunia Cahaya

Apa yang disaksikan Rakeyan sangatlah ajaib dan tak terlukiskan. Walaupun Rakeyan dapat mencoba bercerita, tetapi sebelum mulaipun dia sudah merasa kehabisan kata-kata. Karena itu, ketahuilah bahwa apa yang dituturkan Rakeyan di sini hanyalah sebagian kecil saja dari apa yang telah ia saksikan, sedangkan keadaan yang sebenarnya tak akan mungkin untuk digambarkan sama sekali.



Negara Suci sangatlah berbeda dari tempat-tempat yang pernah dilihat atau dibayangkan Rakeyan sebelumnya. Ia adalah dunia dari segala dunia, dan keadaan dari segala keadaan. Sejauh manapun mata mencoba memandang, Rakeyan tak dapat melihat batas-batas dunia ini. Ruangannya maha luas, langitnya dari keabadian hingga keabadian dan tanahnya tidak memiliki jurang-jurang gelap. Gunung-gunung karang menjulang dengan megah di sana-sini. Terlihat anggun, indah dan berwibawa. Jalan-jalan mengitari gunung-gunung itu dan lorong-lorong atau jalur perhubungan menembus ke segala arah. Beberapa jalan mengitari tebing-tebing yang curam, kelihatannya cukup berbahaya untuk mereka yang harus berjalan di atasnya. Namun Rakeyan melihat beberapa orang yang berjalan di sana, tiba-tiba tergelincir ke luar batas jalan, ke sebelah kiri di mana jurang terdapat, akan tetapi ternyata mereka tidak meluncur jatuh. Mereka melayang di udara kosong dan dengan mudahnya kembali lagi menjejakkan kaki ke atas jalanan. Negara Suci terlihat terang-benderang, dengan paduan warna-warna putih dan kuning yang cemerlang. Di sana tidak ada matahari, karena dunia itu menjadi matahari dan bintang-bintang bagi dirinya sendiri, dan bagi seluruih mahkluk yang berada di dalamnya. Udara dan cuacanya terasa nikmat dan menyenangkan. Di sana seseorang tidak akan merasa kepanasan dan tidak akan merasa kedinginan.



Sambil melayang terus kulihat dunia-dunia di atasku dan dunia-dunia di bawahku. Semuanya dilengkapi dengan mahluk-mahluk yang berdiam di dalamnya. Lembah-lembah hijau terlihat luas membentang dan panjang sepanjang pandangan mata Rakeyan. Dilihatnya pula lapangan-lapangan luas di mana anak-anak kecil dengan wajah yang berbahagia bermain bersama mahkluk-mahkluk yang tak pernah ia lihat di dunia dari mana ia berasal. Juga dilihatnya taman-taman indah yang suasananya penuh kedamaian. Kesanalah seseorang dapat pergi untuk duduk menyendiri. Danau-danau yang luas, dan sungai besar yang berkelok-kelok turut menyemarakkan pemandangan di Negara Suci.



Dilihatnya kupu-kupu indah dengan bermacam warna dan berukuran raksasa beterbangan ke sana-kemari. Juga malaikat-malaikat di udara bepergian ke segala arah. Ada yang sendirian dan ada yang berkelompok. Melihat wajah mereka membuat hati Rakeyan berbahagia, karena keadaan mereka yang benar-benar menyenangkan. Kemudian Rakeyan memohon di dalam hati agar diijinkan mendengar suara kidung dari dunia ini. Dengan seketika itu pula terdengar olehnya suara nyanyian yang halus dan lembut menggetarkan perasaannya. Terdengar pula olehnya bunyi suara alat-alat musik, yang berjalin sempurna dengan suara nyanyian tersebut. Rakeyan ingin terus mendengarkan suara nyanyian yang tak akan pernah membosankan itu.



Kemudian Rakyan mendarat, singgah di sebuah taman bergantung di lerang sebuah gunung karang. Di situ ada air terjun kecil, tempat mandi dan ratusan bunga-bungaan yang indah-indah. Dilihatnya seorang gadis sedang mencuci rambutnya yang panjang. Kelihatannya ia baru saja selesai membasuh tubuhnya yang terbungkus sehelai kain. Rakeyan ingin melihat wajahnya, tetapi tetap saja gadis itu membelakangi dirinya.



Ingin Rakeyan menyentuh pundaknya, tetapi ia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Ingin pula ia memanggilnya, tetapi Rakeyan tidak tahu siapa nama gadis itu. Dengan rasa bingung dan malu Rakeyan menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk mencari pertolongan. Tiba-tiba datanglah seorang wanita, mengenakan pakaian putih bersinar yang panjangnya hingga ke mata kaki. Sekarang gadis itu mau membalikkan tubuhnya ke arah Rakeyan. Wanita berpakaian putih itu memperkenalkan Rakeyan dangan gadis itu, tetapi mereka tidak berjabat tangan sebagaimana biasanya di lakukan di dunia dari mana Rakeyan berasal. Tiba-tiba gadis itu menjadi semakin lebih muda dan semakin lebih kecil tubuhnya. Bahkan hingga akhirnya ia terlihat seperti seorang anak kecil. Wanita berpakaian putih itu berkata kepada Rakeyan, dari dunia ke dunia telah diputuskan bahwa gadis akan menjadi istrinya. Gadis itu merasa malu dan Rakeyan pun menjadi semakin gugup. Ia ingin segera keluar dari suasana yang membuatnya sangat malu itu. Akhirnya rakeyan kembali mengangkasa dalam balutan sinar terang dunia cahaya yang mengitari tubuhnya.



Sementara melayang ia melihat ke bawah ke sebuah tebing curam dari mana orang dapat memandang lepas ke hamparan dunia raya. Di atas tebing itu berdiri hamba-hamba Penguasa jagad raya. Mereka semua mengenakan jubah putih yang panjang, menaikkan pujian dan doa kepada Yang Maha Kuasa. Mereka semua nampak suci, berbajik serta cantik dan tampan. Mereka di sana berdoa bagi dunia yang telah diciptakan. Tiba-tiba saja Rakeyan sudah berada di tepi pantai, memandangi birunya ombak lautan. Di manakah itu Rakeyan tidak tahu. Barangkali saja adanya di luar Negara Suci Dunia Cahaya.



Di kakinya terbaring seorang anak kecil yang tubuhnya setengah terendam di dalam air. Pakaiannya kusut dan basah. Tanpa mengetahui apakah ia sedang tidur atau sudah mati, Rakeyan mencoba untuk berbicara kepadanya. Tetapi rupanya ia tidak dapat bangun lagi, karena memang ia sudah mati. Rakeyan merasa sedih dan terharu. Kemudian didengarnya sebuah suara memerintahkannya untuk membawa tubuh anak kecil itu ke dunia cahaya. Pelan-pelan Rakeyan mengangkat tubuh anak itu, dan dengan secepatnya membawanya ke tebing tempat orang-orang suci tadi berdoa. Beberapa wanita cantik menerima tubuh anak kecil yang dibawa Rakeyan, menaruhnya di dalam bejana berisi air dan dengan lembut memandikannya. Tiba-tiba saja anak kecil itu hidup kembali. Telunjuknya menunjuk ke suatu tempat di kejauhan. Setelah itu Rakeyan melihat seorang pemuda berdiri di ketinggian gundukan karang, dengan sebuah bejana yang sangat besar di depannya. Dari sebelah bawahnya banyak orang datang berkerumun dan berkumpul menantikan sesuatu. Kemudian pemuda itu mulai memercikkan air dari dalam bejana kepada mereka yang mengitarinya itu. Ada percikan yang jatuh di atas kepala mereka, dan ada pula yang jatuh ke telapak tangan mereka, yang kemudian mereka minum. Di antara orang-orang banyak itu Rakeyan juga melihat juga beberapa anggota keluarga, termasuk ayahnya.



Setelah itu Rakeyan merasa ditarik ke satu sumber cahaya yang terang benderang. Seakan-akan ia sedang berenang dalam cahaya, bahkan juga meminumnya, dan sekaligus juga terlebur ke dalamnya. Ia terbawa mengapung ke atas ke arah satu ke-Ada-an yang Kudus, dan membuatnya sungguh gentar. Ditutupnya wajahnya dengan kedua tangannya, dan ditundukkannya kepalanya dengan takut, lalu berkatalah Rakeyan: “Jangan biarkan aku melihat(nya), atau aku akan binasa.”



Rakeyan diturunkan satu tingkat dan berdiri, atau terapung, di hadapan roda-roda cahaya yang besar, yang berputar dengan tanpa henti. Tersirat pengertian ke di benak Rakeyan, dan iapun paham bahwa ketiga roda cahaya itu adalah “Kuasa, Pemerintahan dan Ketertiban' (yang mengatur) Alam Semesta.” Dengan perasaan kagum, hormat dan takut Rakeyan memandang kepada apa yang telah ditunjukkan kepadanya itu



Tapi kini kunjungan Rakeyan ke Negara Suci Dunia Cahaya akan segera berakhir. Tidak lama kemudian sekali lagi ia telah berada di depan mulut lorong yang gelap.

[Back]



BAGIAN KELIMA : TAMAN PRIBADI

Pemandangan Tunggal : Pertempuran Yang Dimenangkan



Akhirnya Rakeyan mulai memasuki lorong gelap itu, mendorongkan tubuhnya supaya dapat bergerak maju. Ia terus bergerak ke suatu tempat yang tidak ia ketahui. Demikianlah ini riwayat perjalanannya selanjutnya.



Tiba-tiba lorong yang sedang ditempuh itu menjadi berkelok-kelok, hingga Rakeyan merasa pusing. Lalu pada detik berikutnya Rakeyan melaju dengan sangat cepat bagaikan kilat. Lorong yang ia lalui berbelok ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah dan ke atas lagi dan kemudian menjadi lurus hingga akhirnya ia tiba di mulut lorong gelap itu, pada akhir perjalanannya Di situ Rakeyan mengintip keluar. Terlihat olehnya sebuah taman yang kecil dan asri, hijau dan bercahaya terang karena disinari cahaya-cahaya putih perak. Di situ terdapat air terjun kecil, kolam menggenang dan kali kecil yang mengalir cukup deras.



Tiba-tiba saja Rakeyan telah berada di taman itu, bertemu dengan beberapa orang di sana yang menyambut kedatangannya. Mereka semua berpakaian putih. Rakeyan merasa senang, karena mereka semua nampak bahagia dan selalu tertawa gembira. Tapi tiba-tiba saja Rakeyan terangkat melayang ke atas mereka. Ketika memandang ke bawah Rakeyan sadar bahwa taman penuh cahaya itu sesungguhnya disinari oleh sesuatu yang berada di dalamnya sendiri. Agak terkejut pula Rakeyan menyaksikan bahwa taman itu dikelilingi kawasan hitam kelam yang luas dan tak kelihatan batas-batasnya. Bahkan langit di atasnya pun nampak hitam kelam. Tiba-tiba Rakeyan melihat entah dari mana banyak orang datang membawa tombak muncul dari kegelapan. Mereka berkumpul di atas tebing dan memandang kepada orang-orang di taman bawahnya. Semua mengangkat tombak tinggi-tinggi di atas kepala mereka, mengincar tajam kepada orang-orang yang berada di taman cahaya itu.



Walaupun Rakeyan ingin menghentikan mereka, tetapi ia tidak mampu untuk turun dari ketinggian di udara. Satru per satu orang-orang jahat itu melemparkan tombaknya ke bawah. Semua yang berada di taman melihat ke atas dan kemudian mengangkat tangan mereka, dengan menunjukkan telapak tangannya itu ke atas. Rakeyan merasa senang karena tidak satupun tombak yang dilemparkan dapat masuk ke taman itu, apalagi menyakiti mereka yang berada di dalamnya. Setelah itu tiba-tiba angin bertiup entah darimana, dan orang-orang yang berdatangan dari kegelapan tadi berubah semua menjadi kera. Tanpa pimpinan dan dalam keadaan bingung mereka semua lari berpencar dalam kelam hitamnya kegelapan.



Rakeyan berada kembali di dalam taman. Di kejauhan dilihatnya orang-orang yang berjalan di atas kaki dan tangannya berbondong-bondong mendekati taman di mana ia berada. Setibanya mereka diperbatasan taman, yaitu di antara terang dan gelap, mereka berhenti karena tidak dapat masuk. rakeyan berjalan mendekati mereka. Jelas terlihat olehnya bahwa semua berada dalam keadaan bingung dan ragu-ragu. Mereka semua ingin masuk ke dalam taman, tetapi tidak dapat. Didekatinya orang yang berada di baris terdepan dan ditaruhnya tangannya ke atas kepalanya. Kepada orang itu Rakeyan berkata: “Engkau harus pergi, (karena) tidak dapat engkau masuk ke dalam taman melalui jalan ini.” Mendengar itu mereka semua kembali ke tengah kegelapan yang mencekam itu.

[Back]



BAGIAN KEENAM : JAWABAN ATAS PENGALAMAN

Pemandangan Tunggal : Beberapa Petunjuk

Setelah pengalaman Rakeyan di dunia cahaya selesai, tiba-tiba didapatinya dirinya berenang dalam gelombang-gelombang sinar terang. Masih dalam keadaan terapung-apung itu ia bertanya: “Apakah gunanya semua ini?”



Rakeyan berdiri memandang ke kawasan luas di bawahnya. Merasa bangga, tetapi tidak merasa sombong. Berpikir dan memikirkan sesuatu, apakah itu yang ia pikirkan iapun merasa kurang tahu.



Berputar-putar Rakeyan melangkahi ruangan. Setiap saat memikirkan langkah apakah yang harus diambil. Dibenahinya ketopong di atas kepalanya supaya rapi. Dikenakannya lambang tanggung-jawab di bahu kirinya, lalu disandangnya pedangnya. Setelah itu semua barulah ia menerima sebuah benda dengan kedua-tangannya, ternyata itu adalah Baskara Ratu. Ketika itulah Rakeyan memohon bimbingan. Sebuah kitab yang kuno dan nampak berharga, turun dari atas. Dengan penuh hormat kedua tangannya menerima kitab tersebut. Halamannya ia buka satu persatu untuk dibaca. Kemudian ditaruhnya buku itu di dada, dekat dengan hatinya. Secara mendadak dirasanya sebuah bahaya datang mengancam. Dirapikannya letak ketopong di kepalanya, disentuhnya lambang tanggung jawab di bahu, dan ditariknya pedang keluar dari sarungnya. Para penyerbu yang kejam dan tidak memiliki hati memasuki ruangan. Rakeyan memerangi mereka dengan gigih, mengalahkan dan setelah itu mengusirnya keluar. Setelah berhasil dikembalikannya pedang kepinggangnya.



Dari pintu di sebelah Barat seorang wanita masuk dengan gayanya yang anggun. Kemudian ia duduk di bangku yang tak terlihat, menghadap ke arah Timur, sedangkan Rakeyan berdiri di depannya. Atas semua pertanyaan yang diajukan Rakeyan ia hanya mau menjawab dengan caranya sendiri:



Ya, (semua ini adalah) untuk kamu ~ (tentang kegunaannya) nanti juga kamu akan tahu (tidak boleh diketahui sekarang) ~ karena (memang) belum waktunya ~ (tetapi karena kamu sangat ingin tahu) ~ boleh (sedikit), (yaitu) untuk kamu melaksanakan tugas ~ (tugasnya adalah suatu) tugas untuk menyelesaikan masalah ~ (yaitu) suatu masalah yang berhubungan dengan orang banyak ~ (sekarang ini yang penting adalah) harus (ber)hati-hati ~ (dan) harus menjaga sebuah hati.~ (tentang hal itu) (bu)kan(kah) kamu sendiripun tahu?



Kemudian ia berdiri, dan bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Rakeyan mengantarkannya ke pintu dan iapun pergi. Rakeyan merasa bahwa jawaban yang diberikan wanita itu kurang begitu jelas. Barangkali wanita itu sendiripun tidak mengetahui segala sesuatunya dengan pasti. Menjelang akhir dari pengalaman Rakeyan, ada beberapa hal lagi yang ia lihat, di antaranya beberapa 'kepribadian khayali' yang mencoba mendekat. Tetapi karena dianggap kurang penting, maka tidak terlalu ia perdulikan. Pada saat itulah baru Rakeyan sadar betapa lelah dan letihnya dia. Setelah bersujud kepada Tuhan Khalik Dunia, dengan penuh rasa syukur diusapnya wajahnya dengan kedua tangannya, lalu dengan perlahan-lahan dibukanya matanya. Ternyata pengalaman ini telah berlangsung cukup lama, yaitu dari pukul dua belas tengah malam hingga pukul tiga pagi.

[Back]



BAGIAN KETUJUH : PENUTUP



Demikianlah kejadian dan pengalaman mengesankan yang pernah terjadi atas diri Rakeyan di Bumi Kawastu. Pengalaman inilah yang menjadi puncak segala peristiwa ajaib dan mengherankan yang tanpa sengaja telah dialami Rakeyan.

Mulanya adalah pada malam Jumat, tanggal delapan belas bulan duabelas (1986). Dan puncaknya pada malam jumat, tanggal duapuluh tiga bulan pertama (1987). Selama itu tubuh, roh dan jiwa Rakeyan benar-benar memohon, berdoa dan memuja Yang Maha Agung.



Cermin hati ia bersihkan agar dapat memantulkan sinar, dan wadah alam bawah sadarnya bekerja menampung, serta memilah-milah apa yang telah tertampung untuk dinaikkan kepermukaan alam sadarnya. Sebab semua itu perlu agar dari pengalaman semacam ini dapat dimiliki kendi untuk memuaskan rasa dahaga.

Dimulai dengan usaha menjabarkan pokok-pokok pengabdian berdasarkan ajaran leluhur, akhirnya Rakeyan telah dituntun untuk memasuki bangsal penderitaan, rumah kebohongan dan Negara Suci-Dunia Cahaya.

Demikianlah itu perjalanan Rakeyan memasuki gerbang indah. Di sanalah ia memperoleh pengertian bahwa baik sejarah maupun pengalaman manusia, yang tersarikan sebagai pengetrahuan dan kebijaksanaan, adalah ke-sia-sia-an tanpa Kasih Karunia Allah. Oleh karena itu Allah yang bekerja melalui firmanNya adalah tempat bersandar manusia satu-satunya.

Ditulis berdasarkan penuturan Rakeyan, di lereng sebuah bukit yang berada di sebelah selatan ibukota, sebagai bahan untuk dibaca, direnungkan, dan diterjemahkan.


Malam hari di Bumi Kawastu, tanggal 23-01-1987
[Back]

Tidak ada komentar: