Sabtu, Oktober 04, 2008

gembira karena menemukan cara

gembira karena menemukan cara untuk membuatnya terpuaskan dengan cepat, lelaki itu segera menjambak kuat rambut Surti ke belakang dan memompa hujaman penisnya semakin cepat. Semakin cepat dan cepat sampai tiba-tiba dirasakannya mani panas menyembur dari ot






April 19, 2007 at 6:30 pm

Sebuah bayangan gelap menyelinap ke arah dapur. Dari geraknya jelas sosok itu adalah seorang laki-laki, yang bersijingkat mengendap-endap, seolah tak ingin diketahui kehadirannya. Secepat tiba di jendela di balik pintu sebelah kiri dapur, bayangan itu berhenti. Tangannya berupaya melepas kaitan daun jendela dengan hati-hati, sampai akhirnya didapatkannya sedikit celah untuk mengintip ke dalam.

Dalam remang-remang cahaya ruangan itu terlihat Surti tidur terlentang. Laki-laki itu membiarkan matanya beradaptasi dalam kegelapan. Perlahan tubuh gadis pembantu yang lumayan montok semakin jelas. Kulitnya kehitaman, sedikit mengkilat karena butiran keringat yang membasah di sekujur tubuhnya. Posisi kakinya yang mengangkang membuat darah di kepalanya semakin menggelegak. Sudah beberapa malam dia mengamati pemandangan ini, dan dengan cepat nafsunya langsung meninggi.

Beberapa hari lalu ia mencari celah agar pintu kamar itu bisa dibuka dengan leluasa, dan ia menemukan caranya. Ketika kamar itu kosong, ia melonggarkan sekrup selot pintu kamar ini. Selot yang memang sudah tua itu dengan gampang dikerjainya. Dan ia yakin dengan sedikit sentakan pintu itu akan terbuka tanpa banyak hambatan.

Kini, ketika darahnya semakin menaik, segera didorongnya pintu itu dengan berat tubuhnya. “Klek,” suaranya lemah terdengar di malam gulita yang senyap. Laki-laki itu terdiam sesaat. Telinganya bergetar mencoba menangkap barangkali ada suara mencurigakan yang tidak diinginkannya.

Sunyi.

Seringai kemenangan membayang di wajahnya. Matanya memerah memancarkan nafsu binatang yang tak lagi bisa dikendalikan. Ditutupkannya lagi pintu itu sebisanya. Dan perlahan tangannya menarik golok yang terselip di pinggangnya sejak tadi. Disiapkannya benda tajam itu di dekat bantal si pembantu. Sejangkauan tangan. Ia pasti memerlukannya bukan?

Perlahan laki-laki itu mendekat ke tubuh perawan yang terbaring di dipan kayu. Dipandanginya sekali lagi wajah pembantunya. Di dekatkannya hidungnya ke sekujur tubuhnya. Endusannya berhenti di ketiak Surti yang terbuka. Bau apek keringat bocah yang belum bisa merawat dirinya itu begitu menggairahkan, membuat penisnya menegang. Ia terus mengendus tubuh perawan di hadapannya ini. Dan ia tahu persis bagian tubuh mana yang paling diinginkannya. Disibakkannya daster yang sejak tadi sudah setengah terbuka, hingga celana dalamnya yang sedikit kumal, terpampang dengan jelasnya. Tubuh laki-laki itu semakin bergetar menahan nafsunya sendiri. Bulu romanya bahkan saling berdiri, tapi tidak, ia memang tak ingin terburu-buru. Ia ingin membaui terlebih dulu aroma yang jauh dari wangi ini. Ia menyukainya. Perlahan endusannya menuju ke pangkal paha bocah perempuan berusia 13 tahun itu. Dihirupnya aroma vagina dari luar celana dalamnya. Dan perlahan tangannya meraba pembantu kecil itu.

Seperti sudah diperhitungkannya, Surti bergerak, merasakan sentuhan yang membuat lelapnya terganggu. Tapi ternyata ia hanya mengubah posisinya dan tak terbangun. Dan laki-laki itu meneruskan aksinya, dengan kasar meremas kemaluan si bocah dari bagian luar celana dalamnya. Bocah perempuan itu spontan melek, terjaga dalam kebingungan.

“Jangan berteriak!” desis si laki-laki. Cekatan di raihnya golok yang disiapkannya tadi.

Surti kaget dan semakin tidak mengerti. Ia tak tahu kenapa majikannya berada di kamarnya, bahkan sambil menghunus golok, yang kini melekat di lehernya. Mata laki-laki itu melotot garang. Tangan kanannya masih menodongkan golok ke leher sedangkan tangan kirinya dengan kasar melepas paksa celdam rombeng yang dikenakan Surti. Bocah itu semakin ketakutan dan berusaha bangkit sambil berusaha menurunkan dasternya yang tersingkap dengan panik.

“Den, jangan!” bocah itu meronta hendak bangkit.

Meski belum dewasa, naluri kewanitaannya memberikan sinyal bahaya. Bocah perempuan ini bisa merasakan bukan jiwanya yang terancam, tapi sesuatu yang lain, yang ia belum mengerti.

Namun laki-laki itu sudah mata gelap oleh nafsu setan. Dengan kekuatan yang tak sebanding dengan pembantu cilik itu, disentakkannya tangannya ke dada Surti yang baru tumbuh sehingga bocah itu kembali terlentang.

“Diam!!” desis si laki-laki, “secepat kau berteriak, golok ini akan menggorok lehermu, ngerti???!!!!”

Tatapan Surti nanar. Ia setengah mengangguk ketika merasakan perih di lehernya. Sebuah luka telah tergores, dan ia tahu, kalau ia bergerak sedikit lagi, luka itu akan semakin dalam. Ia memegang lengan si laki-laki, berusaha menarik tangan yang memegang golok itu. Tapi semakin dia memberikan perlawanan, semakin kekuatan laki-laki itu menekankan golok ke lehernya. Akhirnya pembantu kecil itu menghentikan usahanya. Ia menangis dalam diam.

“Hehehehe, bagus!”

Laki-laki itu menyeringai lebar. Jantungnya berdegup kencang menyaksikan pemandangan di depannya. Seorang perempuan, tak peduli siapa dia, kini berada di depannya tanpa daya. Sayu mata penuh air mata itu semakin membangkitkan gairahnya. Ia seperti melihat seekor kelinci siap dimangsa si raja hutan. Dan dia adalah si raja itu. Saat ini.

Kembali diselusurinya tubuh yang setengah bugil itu dengan matanya. Dan sekali renggut, daster yang dipakai pembantu cilik itu robek memanjang, memampangkan tubuh yang semula ditutupinya.

Bocah itu semakin ketakutan. Terlihat dari matanya. Ia juga hendak memberontak, tapi lagi-lagi golok di lehernya menekan tajam.

Si laki-laki kembali menyeringai. Dengan satu tangannya yang bebas ia segera melepas celana kolor yang dikenakannya. Penisnya mengacung tegang. Kekuasaan yang sekarang berada di tangannya telah membangkitkan gairah birahi yang sejak tadi memang telah berserabutan menuntut pemenuhan. Perlahan ia naik ke dipan kecil itu, mengangkang di atas tubuh si pembantu.

“Jangan Den! Tolong Den, jangan!!!”

Ditatapnya dengan kejam bocah perempuan yang mulai mengerti apa yang akan terjadi itu. Rintihan memohon belas kasihan itu justru semakin membuat darahnya menggelegak. Rintihan itu seolah aba-aba baginya untuk segera menindih. Dibekapnya mulut si pembantu yang mulai memberikan tanda akan berteriak. Ditindihnya tubuh yang meronta itu. Dijambaknya rambut Surti dengan keras, dan rasa sakit akibat tarikan rambut itu membuat kaki Surti membuka. Tubuhnya masih meronta liar. Dan laki-laki itu kesulitan memaksakan kehendaknya. Semakin keras dijambaknya rambut si pembantu.

“Berhenti! Kalau kau tak mau menuruti aku, bisa kupatahkan lehermu.” Tangannya menekan mulut dan rahang si pembantu kearah yang berlawanan dengan gerak tangan yang menjambak rambutnya.

Surti mendadak berhenti meronta karena kesakitan.

Lutut laki-laki itu segera mengambil posisi di sela paha Surti yang mengangkang. Dilepaskannya jambakan di rambut bocah itu dan kemudian dengan cepat tangannya mengarahkan penisnya yang telah mengacung tegak itu ke lobang vagina Surti, lantas didorongnya kuat-kuat. Dipaksanya kelelakiannya itu menusuk ke lubang yang tak lentur membuka. Gagal. Surti yang kesakitan akibat tusukan di kemaluannya itu kembali meronta dan gerakannya ini justru mempermudah penis itu menusuk kali berikutnya.

Bocah pembantu itu berusaha meronta-ronta dengan liar di bawah tubuhnya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh yang menindihnya. Tapi percuma. Tenaga laki-laki yang telah kalap oleh birahi dan kekuasaan menghancurkan itu tak terlawan. Rontaan Surti justru dinantikannya. Semakin Surti meronta, pinggulnya semakin bergerak seolah menyambut hujaman demi hujaman penis laki-laki itu.

Bekapan di mulut surti semakin keras. Dan kini tangan si lelaki menekan leher si pembantu kuat-kuat. Sambil menarik dan menghujamkan penisnya bergantian, laki-laki itu kini juga mencari puting susu Surti. Rakus dikulumnya puting kecil itu. Bahkan kadang digigitnya kasar. Dan Surti semakin meronta kesakitan. Laki-laki yang sudah terbakar nafsu setan ini sama sekali tak peduli dan terus melumat puting itu hingga berdarah, dan dihisapnya darah itu dengan penuh gairah.

Dirasakanya gerakan tubuh Surti melemah. Tidak, tidak boleh berhenti, aku butuh keliaran itu, pikir si laki-laki. Dan kemudian kembali tangannya menjambak rambut Surti dan ditariknya ke belakang hingga kepala si pembantu itu menengadah kesakitan.

“Hhmmpp..”

Kepala Surti menggeleng-geleng liar, meronta kesakitan, tapi renggutan rambut ke belakang itu justru membuat pinggulnya melenting naik dan membuat urat penis si lelaki melesak lebih dalam. Gembira karena menemukan cara untuk membuatnya terpuaskan dengan cepat, lelaki itu segera menjambak kuat rambut Surti ke belakang dan memompa hujaman penisnya semakin cepat. Semakin cepat dan cepat sampai tiba-tiba dirasakannya mani panas menyembur dari otot kejantanannya. Dan laki-laki itu melesakkan dalam-dalam penisnya seraya berhenti bergerak.

Sesaat berlalu. Laki-laki itu membiarkan badai orgasme yang melandanya usai. Masih ditindihnya tubuh si Surti, tapi kini dilepaskannya jambakan dari rambut si pembantu.

Sambil mengatur nafas, si lelaki meraih kembali goloknya.

“Jangan pernah sekali-kali membicarakan kejadian ini. Kalau sampai kau membocorkannya, hm, aku tak ragu-ragu untuk segera menggorokmu! Paham??!!”

Bocah pembantu itu mengangguk ketakutan. Ia hanya bisa menangis ketika majikannya itu bangkit dan meraih bekas dasternya, mengelap penisnya yang kini telah layu, dan mengenakan celana kolornya.

Benci ditatapnya majikannya yang berlalu dari kamar itu dengan seringai kemenangan. Tapi apalah dia, dia hanya seorang pembantu cilik dari sebuah desa di pesisir pantai selatan sana. Dan Surti hanya bisa meneruskan tangisnya dalam gelap dan tanpa suara.

*****

Dua hari menjelang lebaran.

Ketika semua orang berpikir untuk mudik, berkumpul dengan sanak kadangnya, maka untuk Lang hari ini begitu menyiksa. Semakin mendekati akhir bulan puasa, suhu tubuhnya bisa naik turun tak karuan, demam. Bayangan bahwa sebentar lagi ia harus sungkem kepada suaminya, meminta maaf untuk kesalahannya selama setahun berselang, membuatnya tak bisa tidur lelap: Lang sebagai istri yang harus minta maaf duluan kepada Denni, suaminya. Kenapa tidak sebaliknya? Jujur saja, ritual itu begitu mengganggunya.

Tuhan, kenapa tidak segera terhapus rasa sakit ini? Kenapa perselingkuhan Denni dan Windy, adik kandungnya tak juga surut dari ingatan? Bukankah dirinya juga tak bersih dari perselingkuhan demi perselingkuhan?

Nama Abi dan Jossi tiba-tiba berkelebatan dalam benak Lang. Dua lelaki itu telah menularkan kekuatan kepada Lang untuk tetap menjalani perkawinannya. Tapi, mereka bukan bagian lagi dari kehidupannya saat ini. Abi hanya masa lalu. Jossi juga. Laki-laki itu pamitan kepadanya beberapa bulan lalu. Ia harus pindah ke Irian Jaya demi karir istrinya. Dan Lang harus merelakannya. Tapi, kenapa ia merasa tak juga lega telah membalas perlakuan Denni kepadanya?

“Hhhhh.,”

“Hei, kok menghela nafas gitu sih?” Lang merasa bahunya ditepuk Yeli lembut dari belakang. Dia tersadar berada di tengah kerumunan orang berbelanja di supermarket Matahari Malioboro.

“Masih perasaan yang sama ya?”

Lang mengangguk, tersenyum kecut. Karibnya semasa SMA itu memang tahu perasaan tergelap di bilik hatinya yang paling dalam. Dua minggu lalu tiba-tiba saja Yeli menelepon ke kantornya di Jakarta. Lama sekali mereka tak bersua, tak juga berkontak kata. Spontan mereka saling cerita kehidupan masing-masing. Dan karena mereka sama-sama berniat berlebaran di Jogya, akhirnya mereka janjian untuk berbelanja bareng hari itu. Di situlah mereka saat ini, terperangkap dalam jejalan manusia yang saling berebut kue kering, sirup, dan kebutuhan lebaran lainnya.

“Sudah lengkap semua kebutuhanmu?”

Kembali Lang mengangguk, dan mereka kemudian antri di lintasan kassa. Menjelang maghrib baru mereka berhasil lepas dari kerumunan massa.

“Eh Yel, cari makanan kecil di Bulak Sumur yuk. Kita bawa ke pinggiran danau di timur kampus. Aku kok tiba-tiba kangen nongkrong di situ.”

“Boleh saja. Tapi kau yakin tubuhmu nggak lelah? Kulihat kau agak pucat hari ini,” kata Yeli sambil melirik perut Lang yang membusung karena usia kehamilannya yang semakin tua.

Ya, Lang memang memutuskan untuk hamil lagi. Ia tidak ingin Randu sendirian. Ia ingin memberinya seorang adik. Di samping itu, ada niatan tersembunyi di hatinya. Jauh di dasar sana, ia ingin mempunyai seseorang yang bisa disayangnya seandainya Randu benar-benar dikuasai Denni.

Dikuasai?

Perih hatinya dengan pilihan kata-katanya sendiri. Tapi kenyataan itu harus diterimanya. Ia merasa, suatu saat dirinya pasti tak kuat menanggung beban perkawinannya. Entah kenapa ia berpikir demikian. Dan dalam benaknya, tergambar satu keyakinan, bahwa Denni pasti akan mati-matian menguasai Randu.

Bagaimana nasib anak itu nanti? Hhh..entahlah, yang pasti ia ingin punya seorang anak lagi untuk ditimang. Dan hari ini, ia mensyukuri keputusannya itu. Ya, ada satu masalah yang telah membuat hatinya kembali berkeping. Masalah besar, yang tidak mungkin ia sebarkan. Masalah yang telah membulatkan tekadnya untuk meninggalkan Denni.

“Hhhhh..”

“Lang,” tegur Yeli lembut, “Kita jadi ke danau?”

Lang menatapnya sendu. Ia memaksakan segurat senyum di bibirnya. Tak cukup berhasil. Tapi ia menyatakan persetujuannya dengan anggukan kepala.

Yeli. Ia sebenarnya curiga melihat sahabatnya hari ini, tidak seceria kemarin. Bahkan kalau tidak salah, ketika tadi menjemput di rumahnya, dia masih melihat pelupuk mata Lang memerah. Habis nangis. Tapi ia tahu persis, tak ada gunanya memaksa Lang bicara. Percuma. Perempuan di depannya ini seperti kerang. Sekali bersembunyi dalam ‘rumahnya’ yang keras, tak bakalan orang tahu apa yang dipikirkannya.

Yeli segera mengarahkan mobilnya ke selatan, menyusuri Malioboro, membelok ke timur. Dicarinya jalan paling singkat ke Bulak Sumur.

Untung masih banyak pedagang makanan kecil di pinggiran jalan kampus terbesar di kota gudeg itu. Mereka segera memborong kue, membeli kolak, dan air mineral secukupnya. Dan kemudian mobil Yeli terlihat meluncur ke bagian timur Kampus Biru itu, ke pinggiran danau yang agak sepi.

Lampu merkuri yang menerangi jalan tak cukup terang menjangkau daerah ini. Bukan masalah, karena beberapa pedagang jagung bakar membawa cukup obor untuk menerangi dagangan mereka. Penjual wedang ronde pun memanfaatkan senthir untuk menerangi gerobak yang dipenuhi stoples kaca berisi gula ronde, kolang-kaling, kacang, dan potongan roti. Lang menghirup bau jahe dari kukusan air mereka, dan tak tahan untuk segera keluar dari mobil yang diparkir karibnya tak jauh dari danau, dan segera memesan ronde yang panas mengepul. Ia menghirupnya segera ketika sampai di dalam mobil.

“Wuiih, kangen banget aku dengan suasana ini.”

“Yupp. Tak cuma kamu Lang. Akupun kehilangan kegembiraan masa-masa kuliah yang mengasikkan. Untungnya kampusku di Surabaya itu suasananya tak jauh beda dari UGM, jadi lumayanlah.”

“Asik jadi dosen?”

“Asiklah. Aku kan memang dari dulu ingin berdiri di depan kelas, menantang mahasiswa berdebat, biar otak mereka rada isi. Sambil sesekali melirik mereka yang ganteng-ganteng ituuuuu.”

Tawa mereka berderai renyah. Dan tanpa terasa mereka kemudian tenggelam berbagi nostalgia tentang masa lalu, tentang gank mereka yang terdiri dari tiga cewek bandel: Lang, Yeli, dan Andin.

“Jadi apa Andin sekarang?”

“Terakhir aku mendengar, dia menikah dengan Rory, anak A3 itu. Dia memilih jadi ibu rumah tangga sepertinya, biar punya kesempatan menjajah suaminya itu kali, hahahaha,”

Lang ikut tergelak membayangkan Andin yang begitu galak, memegang cemeti menunggu suaminya yang terlambat pulang. Dulu Andinlah yang sering mencari setori dengan gank lain yang ada di SMA mereka. Tak hanya gank cewek, gank cowok pun sering jadi sasaran kejailan dia. Endingnya, bila ada kekacauan, Lang dan Yeli yang turun tangan menyelesaikan masalah. Mereka bertiga segera populer di kalangan siswa dan guru di sekolah itu, karena tak saja mereka jail, tapi otak mereka pun isi. Ranking tiga besar pasti mereka sabet. Hanya saja urutan siapa yang ada di peringkat satu, dua, dan tiga, saling berganti antara Lang, Yeli, dan Andin.

Masa lalu yang menyenangkan.

“Lang, hampir jam sembilan malam. Kau..tak ingin pulang?” Yeli berucap lembut sambil menatap wajah Lang yang tiba-tiba agak memucat ketika mendengar kata-katanya. Ia tahu persis ekspresi Lang kesakitan ketika diingatkan untuk pulang.

“Lang, kau harus menghadapi situasi ini dengan jernih. Aku tahu memang menyakitkan tapi bukankah kita tak bisa lari dari kenyataan yang kita pilih?”

Lang terdiam. “Aku..aku tak ingin pulang Yel,”

Belum lagi Yeli merespon kata-katanya, Lang sudah menangis tersedu. Tak kuat lagi ia menahan bebannya. Seharian ini ia mencoba mengebaskan rasa sakitnya dengan mencari ribuan kesibukan: Mencari keperluan lebaran, guyon dengan Yeli, mencoba mengalihkan perhatian dengan bernostalgia ke masa lalu yang menyenangkan, tapi nyatanya gagal. Sekarang, ketika tak ada lagi ‘tembok’ yang bisa dijadikannya sebagai alasan mengalihkan perhatian, ia merasakan dadanya sesak.

Yeli sebenarnya juga curiga dengan perilaku Lang. Perempuan di depannya ini memang sejak tadi ketawa-ketiwi, tapi Yeli cukup kenal siapa Lang dan bagaimana jika sobatnya ini sedih. Mulutnya boleh tertawa, tapi sayu matanya tak bisa menipu. Ia tadi hanya menahan diri untuk tidak bertanya. Percuma. Lang tak akan bercerita apapun kecuali dia memang ingin bercerita. Dipeluknya sahabatnya itu. Dibiarkannya tangis Lang semakin keras.

Sesaat kemudian tangis itu mereda.

“Ada yang bisa aku bantu?”

“Yel, katakan kepadaku, apa sih kekuranganku sebagai istri?”

“Wah, susah itu jawabannya.”

“Beri aku penilaian Yel. Apakah aku benar-benar tak punya harga sebagai seorang istri? Benarkah seorang pembantu lebih bernilai dari aku?”

“Lho, kok larinya ke pembantu sih?” Yeli bertanya tak mengerti.

Tapi, Lang bukannya menjawab, malah sahabatnya itu kembali menangis tersedu.

Busyet, ini pasti ada hubungannya dengan kembalinya Surti yang tiba-tiba hari ini, batin Yeli. Tadi Lang memang sempat cerita kalau Surti mendadak pulang untuk berlebaran. Hm, ada kejadian apa lagi nih?

“Lang, cerita dong, jangan cuma menangis begini!”

“Tadi pagi..tadi pagi-pagi sekali, Surti pamitan pulang. Aku kaget, kenapa dia dadakan begitu. Padahal sebelumnya aku sudah minta dia pulang hari kedua setelah Lebaran! Tapi ketika aku ingatkan komitmennya itu, dia justru menangis.”

“Apa katanya?”

“Dia tidak mau bilang kenapa, sampai aku lihat ada yang ganjil di lehernya.”

“Apa itu?”

“Dia mengenakan selendang di lehernya itu, ketika aku minta dia membukanya, dia tambah nangis,” lanjut Lang sambil masih terisak, “tapi aku memaksanya membuka selendang itu..dia ada ada luka di lehernya Yel.”

“Dia berusaha gantung diri? Atau ada yang cekik dia?”

“Tidak Yel..dia..dia…uhuhu,” Lang tak bisa melanjutkan kalimatnya. Ledakan tangisnya kembali menyekat kerongkongannya…sampai akhirnya…

“Dia diperkosa Denni,”

Yeli terkesiap. Lidahnya kelu. Ia tak tahu lagi apa yang harus diucapkannya untuk menghibur Lang. Dibiarkannya perempuan itu menghabiskan tangis dalam pelukannya.

******

Malam itu Lang akhirnya sampai di rumah tepat tengah malam. Sebagian dirinya menolak pulang, tapi Yeli mengingatkan bahwa Randu, anaknya yang sulung pasti mencarinya.

“Pulang Lang. Kalau tidak untuk Denni, maka lakukan itu untuk Randu.”

Dan pulanglah dia.

Dibukanya pintu depan dengan kuncinya. Ruang tamu masih temaram diterangi lampu di pojok meja. Tudung lampu yang berwarna putih itu membiaskan bayangan khas di dinding.

“Lang.”

Suara Denni.

Tubuh Lang spontan kaku mendengar suara itu. Hal terakhir yang ingin ditemuinya hari ini adalah Denni, tapi ternyata suaminya masih duduk di pojok dekat televisi, menungguinya pulang.

Lang berusaha menjangkau sofa terdekat. Ia tak punya lagi energi untuk berkonfrontasi dengan Denni. Ia harus duduk, tubuhnya lemas. Kehamilannya seolah menjadi berat sekali. Ingin sekali ia langsung menuju kamarnya, tapi kakinya menolak. Akhirnya dihempaskannya sedikit tubuhnya ke sofa panjang dekat pintu masuk.

Lang duduk diam. Ia bahkan tidak bergerak ketika suaminya mendekat. Tidak. Cukup sudah toleransinya. Ia tak ingin berubah pikiran. Sedangkan dari nada suara Denni memanggilnya tadi, ia tahu suaminya itu menuntut permakluman.

“Lang….,”

Diam.

“Lang, tolong pandang mataku,”

Pandang? Tidak! Lang tidak lagi kuat memandang suaminya tanpa amarah. Jadi lebih baik tidak! Ditangkupkannya kedua telapak tangannya menutup wajahnya.

“Lang..,”

Dirasakannya tangan suaminya memegang lengannya. Tubuh Lang gemetar hebat. Ingin ditepisnya tangan itu, tapi itu berarti dia akan membuka wajahnya, matanya, dan ia akan melihat Denni. TIDAK!!!

“Hhhh, Lang…tolong pandang aku Lang,” bisik Denni lirih, “maafkan aku.”

Degg!!!

MAAF?????

Seumur-umur Lang baru mendengar kata ini diucapkan suaminya.

Tuhan, apa yang harus dia lakukan? Seribu amarah tentang perilaku suaminya tak pernah pergi dari hatinya. Bahkan ketika ia menghancurkan diri, masuk juga ke lumpur, agar sama kotor dirinya, tapi tak juga amarah itu hilang.

Setiap detik ia juga mengharap suaminya meminta ampunan, dan tak pernah itu datang.

Kini, ketika ia memutuskan untuk pergi, justru Denni mengucapkannya.

Haru biru pertentangan batinnya membuat Lang lemas. Kesadarannya terenggut. Ia terkulai pingsan. Ketika sadar, ia telah berada di ruangan bernuansa putih. Rumah sakit. Dilihatnya perutnya mengempis. Panik. Otaknya dimintanya bekerja, agar menuntut bertanya kemana isi perutnya, tapi tak mampu.

“Anakku..,” bisiknya lemah..tak ada jawaban…

“Anakku!!!! Mana anakku???” Ia akhirnya bisa berteriak. Kepanikan menggerogoti pikirannya. Ia berusaha bangun tapi kepalanya seolah ditimbuni berton-ton pasir. Berat sekali.

Tubuhnya menuntut untuk lelap kembali. Pengaruh obat bius rupanya masih kenatl dalam darahnya. Tapi sekali lagi otaknya tak mau menyerah. Tidak, ia tak boleh kehilangan Gading. Cukup sudah dulu Savitri menghilang dari kehidupannya. Tapi tidak dengan Gading.

“TIDAAAAAAAAAK..!!!!”

“Tenang, tenang,” ujar seorang perawat yang segera masuk mendengar teriakannya.

“Mana anakku, mana Gading??!!!”

Lang berteriak menuntut anaknya. Ia meronta ingin mencari, tapi lengan-lengan kuat menariknya agar tetap berada di ranjang. Jarum infusnya bahkan lepas. Tapi ia tidak peduli, sampai seorang suster menggendong seorang bayi mungil dipelukannya.

“Ibu tenang dulu, sebelum ibu tenang kami tak bisa memberikan bayi ini.”

Lang menatap bayi itu. Ya, itu Gading. Ia bisa merasakannya. Kepalanya seperti terguyur es. Ada kelegaan disana dan ia mencoba mengendalikan diri. Ia memang tak butuh apa-apa..ia hanya butuh Gading, bayi mungil itu.

Tenang Lang. Tenang.

“Suster, berikan bayiku..berikan bayiku,” suaranya atau lebih tepat rintihannya terdengar memelas. Tangis mengembang di pelupuk matanya.

Para perawat yang berada di ruangan itu seolah merasakan kebutuhan Lang yang amat sangat atas kehadiran bayinya. Dan mereka sepakat untuk segera mengulurkan bayi itu dalam pelukan Lang.

“Gading…,” panggilnya lemah. Dipeluknya anak itu. Dipeluknya erat bayi laki-laki yang kemudian diketahuinya harus dilahirkan dengan bedah caesar. Ia tak peduli rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia hanya ingin bayinya. Gading.

(Di sanalah ia tetapkan sebuah kekuatan baru. Kekuatan yang berasal dari darah dan dagingnya sendiri, yang tak mungkin meninggalkannya.)

TAMAT

(Hhhh, susah sekali menuliskan episode ini. Aku berusaha melewati sesi ini sebaik mungkin. Semoga tak membingungkan karena loncatan-loncatan pikirku sebenarnya tak begitu tertata rapi. Terus terang aku memang tak berhasil memasukkan sesi ini dalam file memory di otakku secara pasti. Antara ada dan tiada)

Tidak ada komentar: