Sabtu, Oktober 04, 2008

perkosa bccah kurang bermanfaat




perkosa bccah kurang bermanfaat






Ketika hidup sudah tidak berharga lagi, manusia akan memperlakukan sesama seperti halnya benda mati. Segala sesuatu hanyalah alat-alat pemuas nafsu. Dalam kondisi demikian, berbagai kejahatan bisa terjadi, termasuk perkosaan terhadap anak-anak, seperti terjadi di Jember ini.

Tak perlu lagi menimang anak-anak. Menggoda-godanya agar bisa bergerak-gerak, tertawa, atau berkata-kata lucu. Jika, kelucuan dan kepolosan mereka hanyalah hiburan semata, alat pemuas mata dan telinga.
Tak perlu membawa mereka ke Taman Kanak-kanak, menyekolahkan mengaji, atau mendandani mereka bak bunga bakung di lembah. Jika nantinya masa depan mereka direnggut paksa, sehingga kelak mereka jadi manusia-manusia tak berpengharapan dan tak lagi menghargai kehidupan.

Anak gadis yang malang. Inilah yang ditangisi Ny Romelah selama berhari-hari. Warga Desa Balung Kulon, Kecamatan Balung, Jember, ini tak habis pikir, kenapa Sof, 10, anak perempuannya, harus mengalami peristiwa memilukan.

Kegadisannya direnggut paksa. Tak hanya itu, si pelaku yang diduga tetangga sendiri, setelah puas melampiaskan libido seksual, dengan kejam membunuh bocah malang itu. Masya Allah.
Tubuh Sof yang tergeletak bak sampah tak berharga ditemukan warga pada awal Januari 2007. Ny Romelah bersama sanak saudara meraung-raung, menangisi kepergian gadis periang ini.

Kasus Sof hanyalah satu dari sekian contoh tindak kekerasan terhadap anak-anak di Kabupaten Jember. Perkara ini merupakan bagian dari serangkaian tindak kriminal di wilayah yang sejak lama tersohor sebagai kota religius.

Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polres Jember mencatat perkosaan anak yang dilaporkan ke polisi pada tahun 2006 sebanyak 30 kasus, sedangkan pencabulan anak 32 kasus.
Sementara itu, Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Jember mencatat 26 kasus perkosaan anak, dengan rincian empat kasus menimpa anak usia di bawah 10 tahun dan 22 kasus anak usia 11-18 tahun.

"Kita tidak perlu membandingkan kejadian di Jember ini dengan di kota-kota lain. Yang jelas, angka-angka ini tinggi dan memprihatinkan," ujar Dewi Mashitoh, Koordinator Divisi Layanan Dampingan P3A Jember belum lama ini.

Menurut Mashitoh, anak-anak kerap menjadi korban perkosaan, karena mereka innocent (polos) dan tak berdaya. Apalagi, jika harus berhadapan dengan orang-orang dewasa, terutama orang tua. Itu sebabnya, perkosaan banyak dilakukan bapak, paman, kakek, atau juga tetangga dekat.

"Sangat jarang dilakukan orang jauh dan tidak dikenal. Sebab, dalam perkosaan anak, ada unsur unjuk kekuasaan (show of force) dari pelaku pada si lemah. Biasanya, pelaku adalah orang pengecut yang ingin menunjukkan kekuatannya pada si lemah," tambah Artantyo WU SPsi, psikolog dari RSUD dr Soebandi Jember.

Dewi Mashitoh berpendapat, faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan pelaku maupun korban juga memicu munculnya perkosaan. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.


Ketika hasrat telah menggebu, mereka tak punya uang untuk `jajan`. Akibatnya, orang terdekat dan terlemah seperti anak-anak di sekelilingnya-lah yang menjadi korban. Korban yang belum mempunyai kedewasaan penuh, biasanya tidak berani berbicara tentang perkosaan yang menimpanya.

"Mereka biasanya diancam. Jika pelakunya ayah, diancam tidak disekolahkan atau dibunuh. Ini untuk membungkam korban agar tidak mengungkap aib kepada orang lain," imbuh Dewi.
Perkosaan terhadap anak biasanya terbongkar, karena ada perubahan psikologis pada diri korban. "Secara fisik, pihak keluarga bisa melihat bahwa anaknya telah menjadi korban perkosaan, yakni mengeluh kesakitan atau secara psikis menunjukkan perubahan perilaku," lanjut Artantyo.

Perkosaan terhadap anak merupakan kisah ironis di dunia anak-anak. Ayah, paman, kakek, atau tetangga yang seharusnya menjaga anak-anak dan masa depannya, ternyata bisa menjadi ancaman bagi mereka.
"Pagar makan tanaman," sebut Artantyo terhadap pelaku perkosaan anak.
Melati, 12, warga Kelurahan Gebang, Kecamatan Patrang, Jember, kini sering menangis dan menjerit-jerit sendiri. Ini terjadi setelah gadis berwajah imut-imut ini dirampas mahkotanya oleh sang ayah Agustus 2006.

Ih, 35, tega menghancurkan masa depan anak gadisnya demi memuaskan nafsu. Ini terjadi karena pria ini kerap ditinggal istri bekerja sehingga kebutuhan biologis tak terpenuhi.
Perbuatan bejat Ih, kata Dewi Mashitoh, terjadi bukan karena ia ditinggal istri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri atau lantaran belahan hatinya meninggal. Setiap hari, Ih masih bisa bertemu sang istri

"Biasanya, pelaku malah masih mempunyai istri dan istrinya secara fisik keberadaannya tidak jauh. Sangat jarang kami mendampingi korban perkosaan yang pelakunya ditinggal istri," paparnya.
Perbuatan Ih diketahui pertama kali oleh sang istri yang mencurigai perubahan perilaku anak perempuannya. st9


Ketelatenan Penyidik

Tidak mudah menangani kasus perkosaan terhadap anak. "Kita harus menangani perkara ini dengan perspektif (sudut pandang) dari sisi korban atau berpihak pada korban," ujar Kanit RPK Polres Jember Aiptu Tri Muji Wilujeng.

Alasannya, yang jadi korban adalah anak-anak. Kalau penyidik berpihak pada mereka, maka mereka akan mengungkapkan semua yang telah dialaminya secara jujur.

Para korban berada dalam kondisi down alias jatuh. "Jika pertanyaan kita menyakitkan mereka, maka ini sama saja dengan membuat mereka jatuh tertimpa tangga," jelas perwira ini.
Mendapatkan sebuah cerita dari korban yang masih anak-anak, lanjut Tri, pemeriksaan juga perlu dilakukan dengan cara bercerita. Bahkan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) juga dituangkan dengan cara bertutur khas anak-anak.

"Sangat sulit meminta keterangan dari anak berumur lima, enam, atau tujuh tahun. Kita membujuknya dengan cara bermain-main, bercerita bahkan dengan makanan dan mainan. Kita harus telaten dan bicara dari hati ke hati," tutur Tri.

Sedangkan untuk mengeliminasi kasus perkosaan terhadap anak, penyidik menjerat pelaku dengan ancaman hukuman berat. "Kita memakai UU Perlindungan Anak 23/2002. Peranti hukum ini diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku," imbuhnya.

Hakim atau jaksa yang menangani kasus perkosaan anak, kata Tri, sebaiknya perempuan agar lebih berempati dan dapat memproses perkaran dari perspektif anak-anak.
Humas Pengadilan Negeri (PN) Jember Aminal Umam SH tidak sependapat dengan Tri. "Tidak usah memandang jenis kelamin. Asalkan jaksa dan hakimnya concern dan berperspektif anak, hal itu tetap akan membantu korban," ujar Aminal.

Sebab, selain berempati kepada korban, hakim juga tetap harus mempertimbangkan kondisi pelaku. Pemerkosa anak biasanya orang dewasa. Namun, dalam praktik, ternyata ada juga yang pelakunya anak-anak. Seperti yang terjadi pada Bunga, 6, warga Kecamatan Pakusari, Jember, yang diduga diperkosa teman sepermainannya, Arf, 12. st9


Pelaku Anak Juga Korban

Tahun 2006, Pengadilan Negeri Kelas IB Jember menangani tiga kasus perkosaan terhadap anak, dengan pelaku anak-anak juga.
"Secara makro, anak-anak yang menjadi pemerkosa teman-teman sepermainan ini sebenarnya juga menjadi korban.
Sebab, pasti ada yang salah dalam referensinya, baik referensi wawasan orang tua, lingkungan, maupun masyarakat," ujar Humas PN Jember Aminal Umam SH.
Para hakim, lanjutnya, juga harus memperhatikan masa depan pelaku yang masih anak-anak. Hakim tidak akan memilih jalur pidana seperti hukuman penjara bagi pemerkosa anak yang berusia 8-12 tahun.

"Biasanya, kita kembalikan pada orang tua, apalagi jika status mereka pelajar. Namun, jika mereka berumur 12-18 tahun, tetap ada hukuman kurungan, jika terbukti bersalah," tegas mantan hakim Pemalang, Jateng, ini.
Sedangkan pada pelaku dewasa, hakim tetap akan memperhatikan derajat kesalahan, motif, tujuan, sikap batin, dan perilaku si pelaku, sebelum menjatuhkan vonis.

Namun, untuk pelaku perkosaan anak yang sudah dewasa, hakim biasanya menjatuhkan vonis 8-12 tahun. "Itu juga salah satu terapi penyembuhan untuk para korban. Karena, biasanya pelaku adalah orang dekat. Dengan tidak dipertemukannya korban dan pelaku dalam waktu lama, akan membantu korban memulihkan diri dari rasa takut dan trauma," kata Aminal.

Banyak korban yang selama persidangan menolak bertemu pelaku. Karenanya, hakim tidak mempertemukan korban dengan pelaku, meski dalam pidana umum lainnya mereka biasanya bertemu dalan satu persidangan.

Di sinilah perlunya hakim lebih sensitif dan berpihak pada korban. Sebab, jika tidak, maka korban akan semakin trauma. Apalagi, ada juga korban yang tidak menyadari musibah yang menimpa mereka.

Aminal mencontohkan, kakak adik berumur 9 dan 6 tahun yang diperkosa bapaknya. "Dua anak itu malah kasihan pada bapaknya yang meringkuk di penjara. Mereka tidak bisa memberikan keterangan secara leluasa karena khawatir ayahnya dipenjara. Padahal, mereka sebenarnya trauma dan takut terhadap perbuatan ayahnya. Kasus-kasus seperti ini harus diperhatikan hakim," tegas Aminal. st9


Ketahanan Korban Berbeda

Dalam UUPA 23/2002, anak adalah manusia berumur 0-18 tahun yang belum mempunyai kedewasaan secara sadar. Mereka layak mendapatkan hak-hak seperti hidup, sehat, dan aman.
Namun, masih banyak warga yang belum memberikan hak-hak anak sepenuhnya. Sebagian besar hak anak dirampas untuk kepentingan orang dewasa. Ketika anak diperkosa, maka hak akan hidup yang aman dan sehat telah tercerabut.

Anak-anak akan tercekam ketakutan sepanjang hayat. Mereka tidak akan mudah menerima kehadiran lawan jenis. Pandangan terhadap indahnya cinta dan hidup berumah tangga akan sirna. Jika kesehatan psikis lemah, mereka akan mengalami depresi akut yang berakhir dengan bunuh diri.

"Jika anak-anak telah menjadi korban, kita patut mengobati luka mereka dan menyembuhkannya. Ada luka psikis yang dialami oleh para korban perkosaan," kata psikolog Artantyo.
Tingkat penyembuhan luka psikis korban anak ini bervariasi. Menurut Artantyo, karakter korban, dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang dapat mempercepat pemulihan kejiwaan korban perkosaan.

"Ada korban yang introvert (tertutup). Jika masih berusia di bawah 10 tahun, sulit dideteksi apakah depresi atau tidak. Ketika masih anak-anak, mungkin tidak kelihatan, namun jika mereka memasuki masa puber, dampak dari perkosaan itu akan terlihat. Bisa terlihat pada perilaku dan juga tingkat kepercayaan diri," ujar Artantyo.

Oleh karena itu, lanjutnya, daripada mengobati, lebih baik para orang tua dan lingkungan menjaga si anak. "Jangan malah menjadi pagar makan tanaman. Sebab, sulit mengobati anak yang sudah terluka. Daya tahan mereka berbeda, ada yang cepat pulih, namun ada juga yang lama pulihnya," tegasnya. st9





safril 085664800001

Tidak ada komentar: